Bahas Pemindahan Ibu Kota Negara, MIPI Gelar Webinar RUU IKN Sesi IV

banner 468x60

JURNALISPOS.ID, JAKARTA – Pemindahan ibu kota negara (IKN) masih menjadi pembahasan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI). Hal tersebut kembali diulas pada webinar bertajuk “Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan” sesi IV, Sabtu (8/1/2022).

Pada webinar yang dipandu Aprilia Putri tersebut hadir dua narasumber, yaitu Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fachrul Razi dan Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) James Robert Pualillin.

Dalam sambutannya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIPI Baharuddin Thahir mengatakan, ibu kota negara merupakan bahasan yang menarik. Bukan hanya MIPI, tapi juga bagi berbagai pihak yang memberi perhatian terhadap ibu kota negara, serta bagaimana pemerintahan yang akan dibentuk di sana.

“(Termasuk) Organisasinya seperti apa, hubungan kekuasaan untuk kewenangannya seperti apa, relasi antara pemerintah daerah otonom yang sudah existing saat ini di Kalimantan Timur dan kabupaten yang ada di sana seperti apa,” ujarnya.

Baharuddin melanjutkan, diskusi-diskusi yang berkembang juga berkenaan dengan nomenklatur otorita yang ada dalam RUU IKN. Dari bahasan itu ia menilai, bagaimana kompleksnya aturan-aturan yang berkaitan dengan ibu kota negara. Meski begitu, pemerintah Indonesia bisa belajar dari negara-negara lain yang mengalami kebijakan serupa.

“Kalau kita melihat beberapa contoh ya pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan, bagaimana di Australi di Canberra, kemudian di Malaysia, dan beberapa negara lain termasuk di Brazil. Bagaimana ibu kotanya, itu bisa jadi referensi pembentukan ibu kota negara di Indonesia,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi menyampaikan, pada prinsipnya DPD mendukung adanya Undang-Undang (UU) IKN yang rencananya akan diketuk pada 18 Januari 2022 tersebut. Hanya saja dia menyayangkan pembentukan UU IKN terkesan tergesa-gesa atau kejar tayang. Persoalan yang dikhawatirkan timbul yaitu terkait kesiapan masyarakat di sana, ditambah dengan bencana banjir hingga persoalan-persoalan menuju 2024 nanti.

“RUU ini bukanlah RUU yang bersifat sementara atau transisi, namun RUU yang memang harus dipersiapkan secara komprehensif, holistik, secara kreatif, dan juga secara objektif. Oleh karena itu jangan sampai nanti RUU yang dihasilkan adalah RUU yang kejar tayang,” tuturnya.

Di sisi lain, Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) James Robert Pualillin dalam paparannya mengungkapkan, meskipun terkesan kejar tayang, penyusunan UU IKN masih akan mendapat masukan dari stakeholder lainnya.

James memaparkan berbagai alasan pemindahan ibu kota ini. Beberapa di antaranya yakni sekitar 57 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa; krisis ketersediaan air di Pulau Jawa; konversi lahan terbesar terjadi di Pulau Jawa; pertumbuhan urbanisasi yang sangat tinggi; hingga meningkatnya beban Jakarta sehingga terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi.

Tantangan yang mesti dihadapi di ibu kota negara baru ke depan menurutnya terkait dengan era globalisasi. Ada sebuah keniscayaan untuk menghadapi tuntutan-tuntutan zaman agar Indonesia bisa maju ke kancah globalisasi yang lebih luas, yang didukung dengan program pembangunan yang berkelanjutan.

“Dengan kemajuan teknologi 4.0 yang kemudian mendorong untuk menjadi soceiety 5.0 ini memberikan juga ruang bagi sebuah kota untuk berkembang menjadi konsep city smart (smart city),” tandasnya. (Nean) 

Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *