JURNALISPOS.ID, TANGERANG – Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah membuat kehidupan umat manusia di dunia menjadi tidak normal. Sekolah diliburkan, bekerja dari rumah, menggunakan masker saat di ruang publik sampai menjaga jarak satu sama lain, bahkan bersalaman pun tidak diperbolehkan.
Namun pandemi Covid-19 belumlah usai. Beberapa negara masih kewalahan karena tak mampu menekan pertambahan jumlah kasus baru. Sementara negara-negara yang sudah terbilang sukses membuat kurva epidemiologinya melengkung ke bawah kini mengalami lonjakan kasus lagi.
Lockdown mulai diterapkan di beberapa kota ternama di dunia seperti Beijing, Leicester hingga yang terbaru ada Melbourne. Kasus penderita Covid-19 sudah tembus 12,2 juta orang di dunia hanya dalam waktu setengah tahun. Korban jiwa tercatat mencapai 554.000 orang.
Melihat pandemi yang tak kunjung usai, kapan kah hidup normal yang didambakan akan segera terwujud?
Pertanyaan ini susah untuk dijawab. Risiko ketidakpastian masih sangat tinggi.
Namun survei yang dilakukan oleh New York Times terhadap 511 epidemiologis asal Amerika Serikat (AS) dan Kanada memberikan jawaban yang variatif terhadap berbagai aktivitas normal yang mungkin dapat dilakukan atau bahkan tidak dapat dilakukan sama sekali.
Para ahli ini juga mengatakan bahwa jawaban mereka dapat berubah. Semua itu tergantung dari penanganan dan juga laju pengujian yang dilakukan di daerah setempat. Dorongan untuk beraktivitas di di luar rumah terlihat jelas, sebanyak 56% dari para ahli yang disurvei berharap dapat melakukan perjalanan sebelum musim panas berakhir.
Sementara itu, 31% dari para ahli merasa bahwa mereka akan dapat pergi hiking atau piknik dengan teman-teman musim panas ini. Alasannya adalah udara segar, matahari, sosialisasi dan kegiatan yang sehat dibutuhkan untuk membantu menjaga kesehatan fisik dan mental mereka selama kali ini.
Namun untuk kegiatan yang mengharuskan mereka menggunakan transportasi umum baik itu dengan pesawat, kereta api, atau mobil harus ditahan untuk sementara waktu. Kegiatan yang dinilai cenderung berisiko rendah dan aktivitas lain yang ditahan sementara waktu. Di sisi lain, ada kegiatan tertentu yang mereka anggap terlalu berisiko untuk dilakukan saat ini. Sebagian besar menunda menghadiri perayaan seperti pernikahan atau konser selama setidaknya satu tahun atau lebih.
Mungkin temuan yang paling mengejutkan adalah bahwa 6% ahli epidemiologi tidak berharap untuk berpelukan atau berjabat tangan sama sekali bahkan pasca-pandemi. Selain itu, lebih dari setengahnya menganggap masker masih diperlukan setidaknya untuk tahun berikutnya.
Hasil survei ini pada akhirnya menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 tidak hanya mengubah hidup kita saat ini tetapi juga pandangan tentang hidup di masa depan.
Bagaimanapun juga hasil survei ini tak bisa ditelan mentah-mentah ya! Perbedaan penanganan pandemi, kultur, hingga iklim juga harus diperhatikan untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara beriklim tropis seperti di Indonesia.
Survei tersebut hanya menjadi gambaran umum saja yang mencerminkan kegiatan apa yang cenderung berisiko tinggi dan rendah yang dapat dilakukan saat ini atau harus di tahan terlebih dahulu.
Selagi vaksin atau obat yang mujarab belum ditemukan. Hidup umat manusia masih akan terancam. Pun dengan skenario paling optimis, vaksin baru ada tahun depan. Itu pun sudah dipesan oleh banyak ‘negara-negara’ kaya seperti AS dan Eropa.
Namun jangan berkecil hati. Pandemi Covid-19 masih mampu dicegah dengan berbagai hal mulai dari menjaga perilaku higienis dan pola hidup sehat, menerapkan protokol kesehatan secara disiplin ketika di ruang publik hingga melakukan kegiatan yang produktif untuk menggali minat dan bakat agar terhindar dari stres. Tentu kegiatannya juga yang berisiko rendah ya!(Yudi)