Ngaji Bareng di Ponpes El Karim Pandeglang, Gus Nadir Suguhkan Wawasan Fikih Sosial di Era Medsos

banner 468x60

JURNALISPOS.ID, PANDEGLANG. – Banyaknya informasi yang salah kaprah mengenai pemahaman beragama di media sosial (medsos), menuntut cendekiawan muda Nahdlatul Ulama, Prof. Dr. KH. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A. (Hons), Ph.D, atau Gus Nadir, menggulirkan fikih sosial di zaman medsos.

Mengangkat tema ‘Membedah Khazanah Fiqih Sosial di Zaman Medsos’, Gus Nadir berharap pengajian ini dapat menggulirkan fikih sosial yang selama ini tenggelam di tengah fenomena sosial yang memiliki problem sosial amat kompleks.

“Fenomena judol atau judi online, itu haram jelas. Tapi apakah fatwa haram itu dapat menyelesaikan masalah? Tidak selesai dengan mengeluarkan fatwa ini haram saja. Ternyata faktanya di sana ada orang dalam, operatornya bisa disuap. Kemudian berita hoaks oleh MUI itu dihukumi haram, tapi itu tidak menyelesaikan masalah juga. Itu masih jadi fenomena sosial,” kata Gus Nadir.

Lalu bagaimana hukumnya salat Jumat secara online, kata Gus Nadir, yang imamnya berada di seberang sana, sementara jamaahnya di tempat lain? Bagaimana kalau tiba-tiba internetnya bermasalah, imam sudah sujud, jamaah masih rukuk? “Atau bagaimana hukumnya menikah online, apakah nanti pasangan yang dinikahinya tidak tertukar karena tidak dalam satu majelis? Apakah nanti malam pertamanya juga online?” ujarnya.

Saat ini, sambungnya, sedang ramai lagi boikot produk pro-Israel. Kita benci dan sangat menentang gerakan Zionis terhadap rakyat Palestina. Di Australia setiap hari Sabtu ada demonstrasi mendukung Palestina. Kenapa mereka bela Palestina? Karena ini kejahatan kemanusiaan. “Mahasiswa saya juga waktu wisuda bawa bendera Palestina, mereka bukan Muslim. Boikotnya harus cerdas,” katanya.

Lalu kemudian keluar fatwa MUI bahwa barang-barang yang terafiliasi dengan Israel jangan dibeli. Kita boikot! Setuju tidak? Setuju. Saya juga setuju. “Masalahnya, waktu fatwa itu dikeluarkan tidak ada daftarnya oleh MUI. Produk mana saja yang terafiliasi dengan Israel. Jam 5 sore keluar fatwa, jam setengah 7 malam sudah keluar daftarnya. Bukan MUI yang buat. Beredar dari WA ke WA. Kita tidak tahu.

“Jangan sampai semangat memboikot yang kena tetangga kita sendiri. Boleh memboikot? Boleh. Tapi boikot yang cerdas. Begitu dapat informasi yang sahih bahwa itu produk Israel, boleh diboikot. Kita harus hati-hati, tanya sama orang yang tahu informasinya. Jangan sampai emosi kita itu menimbulkan kemudaratan, merespons masalah dengan masalah baru. Rekan-rekan kita banyak yang di-PHK, tokonya tutup. Jangan-jangan terjadi perang dagang dibalut dengan boikot,” katanya.

“Efeknya, ada perusahaan menutup sekian gerai dan mem-PHK ribuan karyawan. Yang terjadi, saudara-saudara kita di Indonesia yang bekerja di perusahaan itu jadi korban. Lalu bagaimana nasib saudara-saudara kita yang tiba-tiba jadi pengangguran, KPR rumah belum lunas, anak-anaknya masih sekolah? Ini kemudian menjadi fenomena sosial. Apa hukumnya orang yang ikut-ikutan boikot yang efeknya banyak orang yang kena PHK? Kita ikut dosa tidak? Ini fenomena sosial dan kita harus hati-hati,” jelasnya.

Kemudian, jelas Gus Nadir, bagaimana memverifikasi bahwa yang diboikot itu produk Zionis? Apakah perusahaan yang membuka bisnisnya di Israel menjadi gerakan Zionis? “Lalu siapa yang mensuplai data list perusahaan itu karena MUI tidak mengeluarkan daftar perusahaannya? Jangan-jangan ada perang dagang karena toko sebelah tidak laku jualannya?” tandas Gus Nadir.

Maka, kata dia, butuh fikih yang merespons problem sosial itu semua. Itulah kita membutuhkan fikih sosial. Fikih sosial itu bukan saya yang buat, tapi sudah 30 tahun yang lalu digagas KH. Ali Yafi dan KH. Sahal Mahfudz. “Saya juga tidak tahu jawabannya. Saya hanya menggulirkan saja. Ayo kita cari jawabannya sama-sama. Para ulama, kiai, dan ilmuwan yang pakar di bidangnya bisa sama-sama melakukan ijtihad kolektif memecahkan fenomena sosial ini,” tutur Gus Nadir.

Melihat fenomena itu, Gus Nadir meminta masyarakat lebih bijak dan jangan menjadikan informasi di medsos sebagai pijakan utama dalam menentukan sebuah keputusan. “Selama ini fikih kita itu fikih ibadah, ada orang yang alim secara ritual, tetapi secara sosial bermasalah. Seakan-akan semakin dia alim, semakin beragama, semakin jauh dari masyarakat,” ujarnya, saat ngaji bareng Gus Nadir ‘Membedah Fiqih Sosial di Zaman Medsos’, di Pondok Pesantren El Karim Pandeglang, Kamis (21/11/2024).

“Seakan-akan disebut benar kalau sharenya banyak, sementara kita diajarkan di pondok tidak seperti itu, harus tabayun (konfirmasi), kekuatan dalil,” ujar salah satu guru besar Fakultas Hukum, Universitas Melbourne, Australia itu mengingatkan.

Kemudian, untuk mengingatkan masyarakat, tercatat dalam beberapa tahun terakhir, Gus Nadir getol mengampanyekan pentingnya pemahaman fikih sosial dalam menerapkan ajaran Islam yang penuh kasih sayang.

“Saya tidak bisa menyelesaikan masalah dengan saya sendiri. Saya datang tidak dengan jawaban, tetapi saya mengajak ayo kita pikirkan (solusi dalam menyelesaikan persoalan sosial),” ujarnya.

Sebelum ngaji bareng di Pelataran Masjid PCNU Pandeglang, Gus Nadir juga menggelar pengajian di Ponpes Fauzan dan Masjid Agung Garut, kemudian Pesantren Cipasung Kabupaten Tasikmalaya yang menjadi persinggahan pertama Gus Nadir dalam safari ngaji fikih sosial di era medsos di wilayah Priangan Timur. Rencananya safari ngaji bareng Gus Nadir berakhir di Pesantren El Karim Pandeglang, Banten.

“Saya ingin datang menyapa bahwa ternyata di Pandeglang baik-baik saja, tidak seperti yang orang bilang intoleran lah, apa lah, ternyata masyarakatnya bisa menerima pemikiran-pemikiran yang saya sampaikan,” ujar dia.

KH. Aan Subhan Aziz, S.E., M.Pd., Pimpinan Pesantren El Karim, menyambut gembira kedatangan Gus Prof. Nadir di pesantrennya. “Tadinya soundsystem kita rusak. Begitu Gus Prof. datang jadi baru. Makanya tadi nyanyi Dealova enak suaranya,” ujarnya.

Kiai Aan mengapresiasi betul dengan model dakwah Prof. Gus Nadir di Australia. “Penanaman semangat dakwah Prof. Gus Nadir di luar negeri menarik orang bule masuk Islam. Ini tentu bukan sesuatu yang biasa. Harus punya kemampuan. Kalau santri bahasa Inggris saja tidak bisa, bagaimana mau mengislamkan orang bule,” tuturnya.

“Selain itu, ilmu yang diamalkan para santri harus jadi aktivitas. Agar mereka mampu jadi enduren, tidak gampang terpengaruh, dan yang penting lagi harus mandiri. Seperti contohnya pada acara ngaji bareng ini, semua makanan yang tersaji santri di sini semua yang menyiapkan,” pungkasnya.(Heri)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *