Oleh: Nurman Samad
Jurnalispos.id,Tangsel-Hasil pengumuman Konvensi PSI di kota Tangsel nampaknya mencindrai citra partai politik itu sendiri yang memiliki jargon transparansi dan antikorupsi. Bagaimana tidak, hasil yang di umumkan penuh dengan tanda tanya serta seperti hanya melegitimasi tendensius sedari awal ke salah satu peserta konvensi.
Oleh karenanya, dugaan Konvensi tersebut merupakan “gimmick” yang digunakan hanya untuk mendongkrak popularitas partai, tidak bisa dihindari. Sebab seharusnya partai yang memiliki jargon transparansi dan Antikorupsi ini menunjukan sikap yang tidak demikian. menjadikan jargon untuk mendulang simpati masyarakat yang sudah lama menunggu partai transparan, jujur dan bersih, namun praktiknya justru bertentangan dengan nilai-nilai itu.
Bagian Skema Politik
Coba tengok beberapa waktu sebelumnya, salah satu peserta: Muhammad, Pernah mengatakan di salah satu media telah mendapatkan dukungan dari PSI, padahal saat itu sedang berlangsung proses tahapan Konvesi serta beredarnya video Muhammad dengan peserta konvensi lain, yaitu Azmi Abubakar ditengah masa berlangsungnya proses tahapan Konvensi, secara tidak langsung memberikan pesan bahwa PSI telah memberikan dukungan politik sehubungan Azmi Abubakar tidak lain adalah ketum DPW PSI Banten. Sekalipun saat itu lantas dibantah oleh DPP PSI, Isyana Bagoes Oka.
Sungguh saat itu jika benar terjadi, maka sangat tidak etis dan jelas menciderai marwah Konvensi serta jargon PSI itu sendiri.
Dan saat ini, kita di suguhkan dengan hasil Konvensi yang hanya mengkonfirmasi dan melegitimasi isu tersebut, lantas untuk apa diselenggarakan konvensi jika sejak awal dan dalam masa konvensi sudah menentukan pilihan? apakah ini kebetulan semata atau memang bagian dari skema yang di mainkan oleh PSI?.
Kejanggalan Hasil Konvensi
Tidak hanya itu, hasil Konvensi pun penuh dengan “intrik” Politik, mulai dari indikator/ukuran penilaian yang tidak jelas dan tidak metodelogis, serta beberapa tahapan Konvensi yang tidak di jadikan ukuran penilaian, seperti debat kandidat, ketaatan peserta dengan aturan, serta ketidakkonsistenan peserta dalam mengikuti tahapan konvensi. Seharusnya variabel tersebut di jadikan penilaian penting, terutama tahapan debat kandidat karena dapat menguji kecakapan intelektual calon peserta yang diusung dalam menjawab persoalan.
Wajar jika Fahd Pahdepie yang memukau dan menguasai materi pada saat debat kandidat berada pada posisi buncit hasil konvensi, dan tak heran pula peserta lain: Siti Nurazizah dan Ade Irawan yang tidak mengikuti tahapan debat kandidat berada pada posisi 5 besar, serta menempatkan Muhammad yang saat debat terbuka terlambat dan tidak menggunakan warna pakaian yang telah ditentukan oleh panitia, justru mendapat nilai tertinggi.
Belum lagi ketika mempertanyakan metodelogi survey apa yang di gunakan, sebab sejak tahapan debat terbuka adalah masa pandemi Covid 19 hingga saat ini.
Untuk itu kami meminta PSI manjelaskan indikator/ukuran yg di jadikan penilaian dan juga membuka data hasil survey secara transparan. Bahkan semestinya mengundang semua peserta atau siapapun untuk menguji hasil penilaian secara langsung, terbuka dan di siarkan secara live melalui akun resmi PSI seperti pada saat Konvensi, agar masyarakat bisa menilai bahwa PSI memang konsisten memegang teguh jargon politiknya sebagai parpol yang transparan, dari awal hingga penilaian akhir, bukan hanya proses awal namun tidak pada pada penilaian akhir.
Terakhir, untuk mengingatkan bahwa PSI identik dengan partai golongan muda maka semestinya berpihak terhadap kepemimpin muda, bukan justru menutup ruang itu dan memilih yang sudah tidak muda. Kita bisa menerima ketika “kotor” ada namun jujur mengatakannya, daripada “kotor” ada namun tidak jujur mengatakannya, bahkan kemudian menutupinya lalu mengatakan “bersih”. Perbedaan diantara keduanya adalah tentang kemunafikan dan “kotor” yang sesungguhnya “lebih kotor”. Mudah-mudahan dirumah aja kewarasan dan akal sehat kita tetap terjaga.(red/rls)